Nyiur hijau, di tepi pantai.
Siar siur, daunnya melambai.
Padi mengembang, kuning meraya.
Burung-burung, bernyanyi gembira.
Tanah airku, tumpah darahku.
Tanah yang subur, kaya makmur.
Tanah Airku, tumpah darahku.
Tanah yang indah, permai nyata.
SYAIR lagu Nyiur Hijau ciptaan Maladi tersebut mengingatkan saya sewaktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Melalui lagu tersebut, imajinasi saya diajak berlayar berkeliling ke bumi Indonesia yang indah agung. Pepohonan hijau melambaikan kedamaian. Sawah luas menghamparkan berlaksa-laksa harapan. Dan laut biru menyimpan berjuta-juta kemakmuran. Saya sangat kagum dengan pencipta lagunya yang telah menyusun deretan melodi meliuk-liuk indah, memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi. Syair dengan kedalaman maknanya pun mampu ‘menyihir’ pikiran. Bagi anak-anak seusia saya (waktu itu), yang ada dalam benak hanyalah kebanggaan terhadap negeri Indonesia.
Selain Nyiur Hijau, guru kelas saya juga mengajarkan lagu seperti Ibu Pertiwi, Tidurlah Intan, Indonesia Pusaka,Pahlawan Merdeka, dan lain-lain. Masih lekat pula dalam ingatan saya, pada era 70 dampai dengan 80-an, setiap pekan TVRI menayangkan acara Ayo Menyanyi. Para penampil diambilkan dari artis cilik yang sedang tenar, atau dari sanggar-sanggar berprestasi. Meski durasinya hanya 30 menit dan bukan siaran langsung, karena TVRI selalu menayangkan penuh kesetiaan, acara tersebut benar-benar ditunggu oleh anak-anak. Ya, melalui televisi hitam putih berukuran 14 inchi yang gambarnya kadang lebih mirip koloni semut perang itu saya nongkrong di depan televisi, menikmati penampilan Adi Bing Slamet, Cicha Koeswoyo, Diana Papilaya, Dina Mariana, Vien Isharyanto, atau Yoan Tanamal.
Hingga dekade 90-an silam, saat Joshua Suherman, Sherina, Tasya, Trio Kwek-kwek, dan Agnes Monica masih berjaya sebagai penyanyi cilik, anak-anak seusia para penyanyi itu masih dimanjakan oleh lagu-lagu manis. Setiap pagi RCTI dan SCTV masih ‘sudi’ menayangkan lagu-lagu anak-anak. Dan, Kak Seto (Dr. Seto Mulyadi, ketua Komnas Anak) dengan lagunya Si Komo, atau AT Mahmud dengan lagunya Libur Telah Tiba merupakan pencipta lagu yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan dunia anak-anak.
Namun apa yang terjadi pada masa sekarang? Hanya terpaut sekitar 10 tahun saja, blantika musik anak-anak sudah mengalami lompatan cukup jauh. Televisi dan radio dipenuhi lagu-lagu orang dewasa. Dari genre pop, lagu-lagu semacam Kekasih Gelapku (Ungu), Ketahuan (Matta), Teman Tapi Mesra (Ratu) mengajak anak-anak berpikir layaknya orang dewasa.. Simak saja reffrain lagu Ketahuan berikut ini: O oh kamu ketahuan pacaran lagi/dengan si dia teman baikku.
Sementara dari genre dangdut ada Kucing Garong, Cucakrawa, Bokong Gatel, Prapatan Celeng, atau Putri Panggung. Dalam setiap penampilan, baik di layar kaca maupun di tengah publik, selalu menonjolkan goyangan penyanyinya yang seronok, menantang syahwat. Hiburan yang semestinya hanya boleh dikonsumsi oleh kalangan usia dewasa, itu menjadi menu sehari-hari yang juga ‘disantap’ oleh anak-anak.
Kita tidak menampik, di antara hiruk-pikuk peredaran lagu seronok dan bertema percintaan (perselingkuhan) yang membahayakan bagi perkembangan anak, terselip pula lagu cukup mendidik seperti yang dirilis Ada Band (duet bersama Gita Gutawa) berjudul Yang Terbaik Bagimu atau Melly Goeslaw dengan lagunya Bunda dan Kupu-kupu.
Namun akan muncul pertanyaan, apakah tiga lagu tersebut sanggup menghadapi kepungan si Kucing Garong, Bokong Gatel, Putri Panggung, Prapatan Celeng, Cucakrawa, Ketahuan, dan Kekasih Gelapku? Dengan amat berat hati saya tidak berani memasang taruhan kemenangan, apalagi ‘filter’ anak-anak zaman sekarang sudah bocor. Tanpa bimbingan orang tua, mereka lebih tertarik pada goyangan penyanyi daripada mengapresiasi kualitas melodi dan syair lagu.
Memang, arus globalisasi tak dapat kita bendung. Agar tidak ketinggalan zaman, kita perlu mengikuti lompatan modernitas. Maraknya sajian hiburan di televisi atau mudahnya akses internet yang menyediakan beragam informasi tak disangkal merupakan bagian dari denyut kehidupan abad ini. Namun jika tidak dibarengi dengan pemantauan ketat terhadap anak-anak, tidak menutup kemungkinan dapat berakibat buruk bagi kehidupan mereka kelak. Di sinilah peran orang tua dipertaruhkan. Seperti kita tahu, regulasi dari pemerintah perihal jenis acara yang ditayangkan belum sepenuhnya memenuhi kriteria dan diindahkan oleh pemirsa televisi. Semisal program yang bertanda “boleh dilihat oleh semua usia”, nyata-nyata isinya masih rawan ditonton oleh anak-anak.
Melesunya blantika musik anak-anak akibat tenggelamnya gairah para pencipta lagu menghasilkan lagu anak-anak dewasa ini sebenarnya ditangkap oleh beberapa stasiun televisi dalam bentuk kompetisi seperti AFI Junior (Indosiar, kini sudah tidak tayang) atau Idola Cilik (RCTI). Acara itu dipandang bermanfaat untuk mencari dan memandu bakat menyanyi bagi anak-anak. Namun sayangnya, kemasan yang disajikan masih saja ‘memaksa’ anak-anak untuk menjadi dewasa, bukan apa adanya sesuai perkembangan pikiran mereka. Hal tersebut dapat ditengarai dari jenis lagu yang dibawakan para penampil, hampir semuanya lagu orang dewasa. Akhirnya, kita tidak dapat melihat letak itikad baik stasiun televisi, melainkan eksploitasi anak-anak demi mengejar rating acara yang ujung-ujungnya keuntungan. Hari gini mana ada televisi yang mau rugi?
Selama orang tua tidak berperan sebagai ‘Badan Sensor Televisi’ bagi anak-anak, dan stasiun televisi hanya mencari keuntungan semata-mata, ancaman hilangnya lagu anak-anak sudah di depan mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar